Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Arti Seorang Guru Agama

 


Oleh : Hanif Firdaus B.Sc


        Setiap manusia yang hidup pasti punya prinsip. Prinsip inilah yang menjadi pedoman hidupnya. Menentukan tindak langkahnya. Atas prinsipnya yang dia pegang dia hidup, dan atas prinsip tersebut pula dia mati.


        Prinsip ini ada karena ilmu. Ilmu tidak datang dari dalam diri kita sendiri. Tapi dari luar diri kita. Karenanya kita perlu alat ukur kebenaran yang jadi pedoman. Jika sesuai maka ilmu yang kita dapat itu benar dan bisa kita jadikan prinsip hidup. Jika tidak sesuai maka ilmu tersebut salah dan batil.


        Sebagai seorang muslim kita punya dua pedoman kebenaran. Yang pertama Al-Qur'an dan yang kedua Al-Hadist. Isi keduanya pasti benar dan mustahil salah. Sedangkan Informasi atau ilmu yang bersumber dari selain keduanya itu bisa saja benar dan bisa saja salah.


        Agar bisa memahami Al-Qur'an dan Hadist, Allah SWT sudah membekali kita dengan akal. Dengan akal kita bisa memahami isi keduanya. Akal adalah modal utama untuk mencapai kebenaran (Al-Haq). Namun untuk mendapatkan kebenaran yang murni, akal saja tidak cukup.


        Disamping akal, Allah juga memberi kita hati. Dan dalam membuat keputusan, ternyata hati lebih mengambil peran, entah itu kita sadari atau tidak. Karenanya, kebenaran  yang bersumber dari orang Alim yang kotor hatinya adalah kebenaran yang tidak murni. Kebenaran yang terkontaminasi dengan syahwat duniawi. Bagai udang di balik batu.


        Dalam sebuah riwayat disebutkan : 


إن هذا العلم دين ، فانظروا عمن تأخذون دينكم .


Sesungguhnya ilmu ini adalah Agama. Maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.


        Jika gurunya mempuni dan bersih hatinya tentu ilmunya akan jadi cahaya. Jika gurunya tidak mempuni tentu yang disampaikan bukanlah ilmu, melainkan cuma waham dan asumsi pribadi yang tidak jelas kebenarannya. Jika gurunya tidak bersih hatinya maka yang disampaikan hanya menjadi sebatas teori yang tidak mengetuk hati. Sehingga Ilmu yang didapat tidak akan menjadi cahaya yang membimbing murid-murid.


        Prinsip saya, seorang guru harus memenuhi dua kriteria ini. Pertama, punya kepasitas khususnya dalam bidang yang dia ajarkan. Dua, hati yang bersih dan tidak pernah sekalipun mengkhianati ilmunya.


        Dari awal saya mengajar hingga saat ini, saya tidak pernah merasa pantas menjadi seorang ustadz yang notabene mengajarkan ilmu Agama. Kapasitas saya kurang. Hatipun masih kotor. Bagaimana mungkin apa yang saya sampaikan akan jadi cahaya bagi murid saya.


        Mungkin suatu saat saya akan beristirahat. Berpikir sejenak tentang apa tujuan hidup saya. Apakah berkutat dengan dunia tarbiyah adalah pilihan terbaik bagi hidup saya. Apakah ranah pendidikan adalah Medan juang saya. Ataukah ada medan lain yang lebih sesuai dengan kapasitas saya, seorang muslim yang masih setengah-setengah.


        Karena bagi saya mengajar ilmu agama adalah profesi yang sangat mulia. Jika diemban oleh yang bukan ahlinya, kita tidak hanya telah berbuat zholim pada diri kita sendiri. Tapi juga kepada murid-murid kita. Banyak dari mereka yang semangat belajar ilmu agamanya ketika masuk pondok itu pupus karena melihat kenyataan "Pondok pesantren itu ternyata gini ya."


Wallahu a'alam. 

Posting Komentar untuk "Arti Seorang Guru Agama"