Mengapa Harus Mengajar?
Oleh : Hanif Firdaus B.sc
Sungguh ini adalah pertanyaan filosofis yang sejak awal saya mengajar, belum saya temukan jawabannya. Karena menurut saya mengajar adalah profesi terberat. Bukan hanya berat secara fisik, namun juga mental. Andai saja punya 1001 pilihan, maka mengajar adalah pilihan ke 1001 bagi saya. Lantas kenapa sekarang saya malah mengajar. Aneh bukan?
Jujur saja, jika bukan karena anjuran dan motivasi dari guru saya, dan husnuzhon yang kuat bahwa pilihan beliau adalah yang terbaik, tentu saya tidak akan memilih pilihan yg ke 1001 itu. Inilah yang membuat saya mengambil keputusan besar ini dan kembali ke tempat saya dulu mondok untuk berkhidmah mengajar disana.
Sebenarnya sebelumnya saya sudah pernah mengajar. Tepatnya saat saya masih mondok di Bangil, sebelum naik kelas 3 Aliyah, kami semua ditugaskan untuk praktek mengajar di suatu daerah, khususnya mengajar bahasa Arab. Kebetulan saya dapat jatah mengajar di Sampang, Madura. Ditemani satu orang teman, saya mengajar disana selama 1 tahun.
Apakah 1 tahun membuat saya semakin pede dan terbiasa mengajar? Ternyata tidak. Pengalaman 1 tahun itulah yang malah membuat saya haqqul yakin bahwa mengajar bukanlah keahlian saya. Dunia pendidikan bukanlah lahan dakwah yang cocok untuk saya.
Namun takdir Tuhan memang ajaib. Walau pun kita punya 1000 cara untuk menghindari apa yang tidak kita inginkan, ternyata rencana Tuhan lebih dahsyat. Hingga akhirnya, walau dengan berat hati saya putuskan untuk menjadi seorang guru. Dalam hati saya berucap "Awalnya mungkin berat, tapi insyaallah setelah 2 bulan 3 bulan, saya pasti terbiasa". Begitulah saya menghibur diri.
Setelah 3 bulan mengajar, apakah saya terbiasa? Apakah sudah terasa asik? Oh, ternyata tidak. Malah saya semakin haqqul yakin kalau saya sedang salah jurusan. Sudah berkali-kali saya ingin berhenti dan sudah sering saya utarakan niat itu kepada orang tua. Namun, selalu saja batal dan gagal.
Setiap kali terpuruk dan putus asa dengan keadaan. Saat keadaan sudah diujung tanduk, tiba-tiba saja ada secercah cahaya yang muncul di hati saya. Yang meringankan langkah saya untuk pergi ke kelas dan terus mengajar. Dan ini terjadi berkali-kali. Sungguh ajaib. Tuhan masih menginginkan saya mengajar, walau saya tidak pernah menginginkannya. Ya Rabb.
Bagi saya, pergi ke kelas ibarat pergi berperang. Semua peralatannya harus sudah siap. Kita sebelumnya harus sudah murojaah (mengulangi) apa yang akan kita ajarkan. Merencanakan apa yang akan disampaikan. Merangkum poin-poin penting. Dan yang terakhir adalah mempersiapkan mental.
Sebagian orang, ada yang siap dan mampu mengisi jam pelajaran selama 45 menit walau hanya dengan sedikit bahan dan persiapan. Semua menteri tiba-tiba muncul begitu saja ketika ada di depan audiens, bagai ilmu ladunni. Bagi mereka, mengajar adalah hal yang mudah. Dengan mengajar, mereka punya platform untuk menunjukkan kepiawaian mereka berbicara dan menarik perhatian audiens.
Namun saya sadar bahwa saya bukan termasuk bagian mereka. Saya bukan tipikal orang jika dapat informasi, mulutnya akan gatal jika tidak langsung menceritakannya. Saya tipe orang yang sangat selektif dengan apa yang akan saya ucapkan. Sehingga saya dikenal seorang pendiam. Ditambah lagi dengan adanya audiens. Meskipun sudah siap dengan 100 materi, maka yang bisa saya sampaikan mungkin hanya ¼nya saja. Sisanya hilang. Sungguh tragis.
Sehingga sudah menjadi rutinitas sebelum berangkat, sebelum membuka pintu dan melangkahkan kaki, saya yakinkan dalam hati bahwa saya mengajar adalah semata-mata untuk melakukan kewajiban. Lalu saya membaca surah Al-fatihah dan bertawassul kepada Habib Abu Bakar al-Attas. Dengan ritual ini, tugas yang berat ini menjadi terasa lebih ringan di hati dan Bismillah, aku siap mengajar
Alhamdulillah, tepat pada hari Senin, tanggal 18 November 2018 adalah hari pertamaku mengajar di pondok. Kelas pertama yang aku masuki adalah kelas 3 Tsanawiyah J . Pelajaran pertama yang aku pegang adalah ilmu Nahwu dan yang kami baca adalah kitab Al-Kawakib Ad-Durriyyah juz 2 bab Na'at. Sekarang sudah memasuki tahun ke 3 pengabdian dan saat ini mengajar kelas 1 Stanawiyah untuk fan Fiqih. Kitab yang kami pelajari adalah Matan Al-Ghoyah Wa At-Taqrib karya Imam Abu Syuja' Al-Asfihani.
Saat ini rasanya saya sudah menemukan alasan atau visi saya mengajar selain melaksanakan kewajiban. Saya ingin mempermudah materi pelajaran yang dulu (saat meumuran mereka) sangat sulit saya fahami. Juga saya ingin mengubah cara berfikir yang dulu saya anggap benar dan lumrah, namun nyatanya tidak benar. Tentunya agar mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti saya dahulu.
Intinya, sesusah apa pun keadaannya, yang membuat kita bisa bertahan adalah keimanan kita. Juga rasa tawakkal kita kepada Allah. Husnuzhon kita bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik. Karena itulah Iman merupakan bekal terbaik saat mengarungi kehidupan ini. Tanpa iman, tentu kita akan mudah tumbang dan putus asa menghadapi ujian hidup.
Sebagai orang tua atau guru, maka bekal terbaik yang perlu kita tanamkan kepada anak-anak kita adalah keimanan yang kuat kepada Tuhan. Ajari mereka untuk selalu mempercayakan semua urusan hanya kepada Tuhan. Bukan kepada makhluk atau usaha mereka. Sehingga, apa pun ujiannya, dengan izin Allah, mereka akan lulus dan bisa mengatasinya.
Posting Komentar untuk "Mengapa Harus Mengajar?"