Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan Hadist Isbal

 


Oleh : Hanif Firdaus B.Sc


Hadist mengenai larangan "Isbal" sudah lumrah kita dengar dan illah/alasan tentang larangan tersebut pun mungkin sudah kita ketahui. Yaitu : sombong. Sehingga bisa disimpulkan bahwa merendahkan sarung atau celananya di bawah mata kaki hukumnya tidak apa-apa asalkan tidak ada unsur kesombongan.


Karena hadist mengenai isbal itu jika kita perhatikan ada 2 katagori. Pertama, hadist yang melarang isbal secara mutlak. Kedua, hadist yang melarang jika disertai rasa sombong dan pamer (muqoyyad). Dan dalam kaidah ilmu usul fiqih, jika ada dalil yang mutlak dan muqoyyad, maka yang mutlak harus diarahkan kepada dalil yang muqoyyad.


Terlepas boleh tidaknya Isbal, hadist mengenai larangan Isbal itu benar adanya. Sehingga kita harus mengapresiasi dan mendukung saudara-saudara kita yang berusaha mengamalkannya. Tanpa mengejek dan memandang dengan mata meremehkan apalagi membenci. Mau bagaimana pun tidak menjulurkan sarung dan celana tetaplah sunah. 


Setelah merenungi lebih dalam mengenai hadist tentang Isbal saya menemukan hal yang menarik. Yaitu: kita boleh mengkritisi atau bahkan menegur perilaku yang hukum asalnya mubah, namun jika sudah menjadi trend dan mengandung indikasi kuat menjurus kepada sesuatu yang dilarang walaupun susah untuk dideteksi secara pasti.


Sebagai contoh merendahkan celana atau sarung di bawah mata kaki itu pada dasarnya ya mubah. Itu cuma style. Cara berpakaian. Asalkan menutup aurat tidak ada permasalahan. Iya kan? 


Namun, ketika cara berpakaian ini menjadi trend di kalangan tertentu, lalu sudah melewati batas wajar dan timbul indikasi kuat bahwa itu dilakukan karena hal yang dilarang, Rasulullah pun menegur sahabatnya untuk meniru gaya berpakaian tersebut. Walaupun padanya nyatanya pakaian sahabat sangatlah sederhana. Apa yang bisa dibanggakan dari sarung lusuh? 


Suatu ketika Sahabat Abu Bakar As-shiqqid mengadukan bahwa sarung sering kali menjulur dengan sendirinya jika tidak terus dipegang, maka Rasul pun tidak mempermasalahkan karena hal itu dilakukan bukan karena kesombongan. Yang bermasalah bukanlah gaya berpakaian. Tapi rasa tinggi dan ingin pamer itulah titik permasalahannya.


Jadi, walaupun yang dipakai itu cuma tas, sendal, jam tangan atau bahkan surban dan imamah. Jika itu semua kita kenakan karena sombong dan ingin pamer ya apa bedanya? Sungguh dosa yang tak terasa ya? Namun anehnya sering kali kita merasa fine-fine saja.


Hubungan antara pria dan wanita bukanlah masalah jika masih dalam batas wajar. Namun jika sudah berlebihan dan ada indikasi kuat melanggar nilai agama maka wajar jika para ulama menegur dan mengecam jika dirasa perlu. 


Disini saya menemukan hal yang sangat penting :


- Kita boleh mengkritisi sebuah fenomena yang berindikasi kuat menjurus kepada hal yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Namun kita hanya boleh mengkritisi fenomenanya saja tanpa menghukumi dan menvonis pelakunya. 


- Saat menegur hendaknya tidak melewati batas. Artinya, jika kita lihat seseorang melakukannya bukan karena sombong, kita tidak perlu menegurnya berlebihan bahkan dengan mengancamnya akan masuk neraka. Ngeri boy! Jangan samakan rasa ingkar kita terhadap yang meninggalkan sunah seperti rasa ingkar kita terhadap yang meninggalkan kewajiban.


- Yang terpenting dari itu semua, sebagai seorang muslim yang beriman kita harus mengerti bahwa hidup ini sementara dan semua yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan. Hidup sederhana sangatlah cocok dengan kita. Disamping meniru Rasulullah yang hidupnya sederhana dan bahkan sangat minimalis, gaya hidup ini lebih mudah dan murah. 


Itulah hasil istinbat abal-abal saya, seorang santri yang sedang latihan mikir dan berusaha memahami Agama ini sebagaimana adanya. Jika benar maka Alhamdulillah. Namun jika salah tolong dikoreksi ya. Wallahu a'alam. Semoga bermanfaat.




Posting Komentar untuk "Renungan Hadist Isbal"