Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ilmu Rasa

 


Oleh : Guru H. M. Yunus Ainie

        Mulanya saya tak paham benar bedanya istilah maqomat dan ahwal dalam literatur tasawuf. Belakangan baru saya mengerti bahwa ahwal (bentuk plural dari “Hal”) adalah istilah yang mewakili kondisi batin seseorang. Kondisi ini belum ngeh,masih datang dan pergi. Ketika kondisi itu sudah menetap dan kukuh terpatri dalam diri, menjadilah kondisi itu suatu maqom yang stabil.


        Umpamanya, selepas nonton film dokemnter tentang kemiskinan, sebuah “hal” mendatangi kita. Maka kita merasa demikian haru dan trenyuh ingin membantu orang. Tetapi karena belum ngeh, suasana itu hilang timbul. Hingga berapa bulan kedepan kita sudah seperti biasa saja, dan gejolak “hal” yang kita dapatkan di awal itu lenyap. Urung menjadi maqom.


        Suasana hati atau “hal” itu. Dia bisa mewujud dalam dua gambaran besar setidaknya. Yaitu pertama berupa ketersingkapan akan hal-hal yang batin, dan yang kedua anugerah berupa hikmah-hikmah yang dengan hikmah itu cara pandang berubah. Semata ketersingkapan batin tanpa ilmu dan hikmah yang benar akan membuat seseorang jatuh pada kesimpulan yang keliru dan cenderung mistis semata.


        Seumpama seorang yang hidup di pedalaman hutan, lalu disingkapkan padanya kehidupan perkotaan dimana dia melihat mobil lalu lalang. Tetapi karena ilmu dan hikmah tak turun padanya, maka dia mengira mobil itu adalah binatang. Dia berkesimpulan keliru.


        Sebaliknya. Semata ilmu dan hikmah, akan membuat seseorang paling jauh menjadi filosof atau hukama saja. Padahal, approach sufistik itu melampaui semata tafakur. Tafakur semata tanpa ada olah rasa adalah jalan para filosof.


        Umpamanya pada ilustrasi tadi, seorang di pedalaman mendapatkan insight bahwa mestilah pada kehidupan di lain tempat yang lebih modern, manusia sudah bisa menggantikan tunggangan dengan kendaraan mesin. Tetapi dia tidak pernah “menyaksikannya”. Hikmah dan ketersingkapan yang match dan ngeh itulah yang menjadikan seseorang duduk pada maqom.


        Dulu, saya mengira semuanya itu anugerah. Jadi ya “tunggu” saja. Nanti juga sampai. Ternyata, dalam tanda kutip. Memang benar semua itu anugerah. Tetapi tugas manusia adalah “berjalan” sampai ke pintu. Istilah Syaikh Abdul Qadir Jailani, gerbang istana raja. Istilah Ibnu Arabi kalau tak salah “pintu”. Sampai ke situlah batas usaha manusia. Berjalan sampai ke pintuNya. Dan menunggu dengan sabar sampai dibuka.

Posting Komentar untuk "Ilmu Rasa"