Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Mertua


 Oleh : Diana Mar'atus Saleha


Hari itu, hari pertama Mamah membuka warung di depan rumah. Pagi-pagi buta sudah dipersiapkan semuanya. Bubur ayam, yang suatu hari nanti jadi makanan favorit cucunya.


Seperti biasa, sambil menggendong bayi kecilku. Aku pun ikut duduk di warung menemani Mamah berjualan. Beberapa orang hanya lewat, sekedar melirik, belum ketahap merogoh duitnya. Konon, semua masakan yang diolah tangan Mamah, rasanya selalu bikin ketagihan. Ini seriusan.😅


Pagi itu, seperti biasa pula Papah berangkat kerja. Sebelum berangkat, Papah memarkir motornya disamping warung. Tiba-tiba Papah berkata, "Yak (panggilan kesayangan Papah untuk mamah) buburnya dua," ucap beliau pelan sambil menyerahkan selembar uang.


Aku terpanah menyaksikannya. Tiba-tiba aku terdiam. Melihat Mamah yang menyiapkan dua bungkus bubur dan Papah yang berdiri disampingnya.


Mungkin terlihat sederhana, atau bahkan biasa saja. Tapi buatku itu bukan hanya sekedar romantis. Lebih dari itu, diatas tingkat keromantisan aku tak tau lagi apa ungkapan yang pas.


Padahal, bisa saja Papah tinggal bilang "Yak, bungkuskan dua ya." Tapi tidak, justru Papah mengeluarkan uang layaknya pembeli pertama.


Itu bukan sekedar ungkapan "Semangat ya, Sayang, jualannya, semoga laris manis" atau "Aku mau berangkat kerja dulu ya, Sayang, semoga banyak yang beli." Lebih dari itu.


Papah yang berhari-hari membuat warung dengan tangannya sendiri. Memotong kayu, menyusunnya, mendesain warung dengan sedemikian sederhana dan bersahaja. Berhari-hari melakukannya dengan penuh cinta dan ketulusan. Tanpa meminta bantuan tukang, pun tanpa merepotkan siapapun disekitarnya.


Tapi dihari pertama warung buka, Papah membeli dengan uangnya sendiri. Lebih dari sekedar doa, lebih dari sekedar kata-kata penyemangat untuk istrinya, lebih dari itu semua.


Setelah itu Papah berangkat kerja. Menyisakan rasa yang begitu hangat dijiwa, tapi terasa sejuk di mata.

Posting Komentar untuk "Tentang Mertua"