Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pentingnya Adab di atas Ilmu

 


Oleh : Guru H. M. Yunus Ainie

“Siapa yang bisa mendatangkan singgasana Bilqis?” Seru Nabi Sulaiman a.s kepada seluruh bawahannya.


Lalu kala itu majulah Ifrit dari golongan Jin yang terkenal kuat dan gagah. Ifrit konon mampu menjejakkan kaki sejauh mata memandang.


“Kalau menjejakkan kaki sejauh mata memandang aku juga bisa,” timpal Nabi Sulaiman, “aku ingin lebih cepat lagi.”


Saat itulah maju ke depan seseorang yang diberikan ilmu dari Al-Kitab, sebagian pendapat mengatakan nama beliau adalah Ashif. Konon Ashif mengetahui rahasia Asma-asma Allah yang agung.


Ashif kemudian berdoa kepada Allah SWT, lalu memujiNya dengan konteks asmaNya yang agung itu, kemudian singgasana Ratu Bilqis muncul di hadapan Sulaiman as. Sebagai bentuk pengkabulan do’a Ashif.


Kala itulah Nabi Sulaiman berkata, - yang konteks perkataan beliau itu baru saya mengerti sekarang - , “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari.”


Kalimat ‘Apakah aku bersyukur,’ merujuk pada ‘nikmat kerajaan yang diberikan pada Sulaiman a.s’. ‘Atau mengingkari akan nikmatnya’ merujuk pada ‘kenyataan bahwa bawahan beliau yaitu Ashif, ternyata memiliki sebuah perbendaharaan ilmu yang Sulaiman sendiri tidak memilikinya (yaitu pengetahuan akan asma-asma yang dengan itu Ashif mendatangkan singgasana Ratu Bilqis dari kejauhan dengan sekejap mata).’


Saya temukan penjelasan itu saat saya membaca tafsir Al Jailani. Biasanya seseorang akan mengingkari nikmat yang ada pada dirinya, saat melihat orang lain diberikan sesuatu yang melebihi apa yang dia miliki. Dan gejala itulah yang sangat dimengerti oleh Nabi Sulaiman a.s. dalam kutipan kisah di atas.


Jika kita melihat ilmu yang dimiliki Ashif dalam konteks “pendistribusian pengetahuan pada makhluq, oleh Allah” atau dalam konteks “pembacaan / iqro-nya makhluk atas ilmunya Allah,” maka saya rasa memang sangat wajar bahwa tidak akan ada seorangpun manusia yang memiliki pengetahuan yang komprehensif atas ilmu Allah yang tak akan habis ditulis dengan tinta sebanyak tujuh lautan dan pena sebanyak seluruh pohon-pohon.


Berarti akan selalu ada seseorang yang tersingkap padanya suatu ilmu atau suatu kebijakan yang tak dimiliki orang lainnya.


Pengetahuan bahwa sejatinya Allah-lah yang mengajar manusia, dan juga bahwa tentulah pengetahuan yang dimiliki manusia sangatlah sedikit; adalah pengetahuan tentang bagaimana mestinya bersikap.

Atau adab. Mungkin itu juga kenapa kemudian Nabi Musa a.s. dipertemukan pada Khidir a.s.


Bukan masalah siapa lebih mulia dari siapa, tetapi sebagai rekam sejarah, bahwa saat ada seseorang yang mengatakan bahwa dialah orang yang paling alim dan mengetahui dibanding orang lain, Allah akan datangkan padanya seorang alim lainnya. Untuk menggoreskan kebijakan bahwa sebagian ilmu ada yang disingkapkan pada Musa, sebagian ilmu disingkapkan pada Khidir.


Selalu ada celah untuk kita belajar dari orang lain, maka tidak akan mungkin ilmu kita komprehensif. There’s always something to be learned, kata orang-orang.


Dulu, saya mengira bahwa konteks cerita Nabi Musa a.s belajar pada Khidir a.s itu adalah tentang Musa dan Khidir semata, setelah saya mengaitkannya dengan kisah Sulaiman a.s tadi barulah saya memahami bahwa konteks cerita itu sebenarnya adalah juga cerita tentang ilmu Allah yang tak akan bisa dirangkum oleh siapapun juga.


Lebih dari cerita Musa-Khidir semata, kisah itu juga bercerita tentang Allah itu sendiri. Tentang bagaimana Allah mengajar manusia. Tentang ilmu, dan juga adab.


Musa ketemu Khidir saat Musa mendaku dialah yang paling alim, itu saya rasa tema-nya adab juga. Dan Rasulullah SAW pernah juga ditegur oleh Allah SWT saat beliau begitu berduka atas keingkaran kaumnya.


Teguran itu pengajaran adab juga, Allah mengajarkan tata batin tingkat tinggi bahwa porsi manusia adalah berbuat sesuai kepahaman dan peranan, sedangkan pengertian-pengertian, dan makna-makna itu Allah sendiri yang menanamkan pada manusia.


Ilmu diapit adab.

Selalunya begitu.


Secara lahiriah ada adab, secara batin ada adab juga. Saya rasa itulah yang dibahas para Arifin sepanjang sejarah. Tentang adab batin kepada Tuhan.


Dengan cara memandang seperti itu, barulah saya bisa menjadi senang, saat mendapati seseorang memiliki “pembacaan” yang lebih tajam dan dalam ketimbang saya.


Kalau dulu saya pasti akan menganggap orang itu sebagai rival, kalau sekarang saya melihatnya sebagai cara Allah SWT bercerita tentang diriNya.


Betapa menakjubkannya mengamati bahwa banyak sekali orang-orang di dunia ini yang Allah singkapkan padanya pengetahuan yang berbeda-beda.


Seolah-olah Allah ingin bercerita bahwa ilmuNya masih belum habis, dan tak akan habis meski disaksikan dan dibaca trilliunan pasang mata di setiap masanya.


Orang yang mendapat ilmu, adalah orang yang selalu “membaca,” atau IQRO. Tetapi hikmah “pengenalan” pada Tuhan dan keterpandangan pada pengaturanNya di alam ini, hanya didapatkan orang yang mengapit proses pembacaannya dengan Adab (BISMIRABBIKA).


Saat menyaksikan orang-orang yang diberikan kelebihan, atau diberikan sesuatu yang tak diberikan kepada kita itu; kita jangan melihat orangnya; melainkan “lihatlah” pengaturan Allah di sebaliknya.


Kita melihat, bahwa Allah SWT bercerita tentang Ke-Maha-Luasan ilmu yang Dia miliki, yang tersingkap kepada orang-orang yang bahkan kadang-kadang kita tidak pernah sangka-sangka. Dengan begitu, kita memaknai adab.


Saat ilmu ketemu adab, rupanya pengaturan Allah “terlihat.” Maka benarlah para malaikat yang berkata “Maha suci Engkau Tuhan kami, Rabbana tak ada ilmu pada sisi kami, melainkan apa-apa yang Engkau ajarkan kepada kami” saat para Malaikat menyaksikan kemampuan Adam a.s. Menjabarkan segala asma-asma yang Allah ajarkan padanya.


“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat maka Dia berfirman:


“Terangkanlah kepada-Ku nama semua ini jika kalian orang-orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Baqarah : 31-32)


Malaikat mengakui, keterbatasan ilmu… Itu adab. Dan cerita di awal tadi, Nabi Sulaiman mensyukuri nikmat, dan tak menjadi kufur atas kenyataan bahwa Ashif menguasai suatu ilmu lainnya, itu adab juga.


Ada satu adab lagi, yang bisa kita contoh pada Nabi Sulaiman a.s. Saat menyusuri “kerajaan,” Nabi Sulaiman mendengar para semut saling mengingatkan satu sama lain agar tak terinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, beliau tertawa seraya berdo’a.


“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal sholeh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS An-Naml : 19).


Sebuah kenyataan dimana beliau mengakui bahwa untuk bisa mensyukuri nikmat, dan melakukan amalan shalih, juga butuh pertolongan (ilham) Allah SWT. Itu pun adab.


Sikap inilah, yang oleh Ibnu Athaillah dibahasakan dengan “Tanda kesuksesan pada ujung perjalanan, adalah bersandar pada Allah sejak dari permulaan.”


Jika untuk bersyukur dan beramal saja sudah meminta pertolongan Tuhan, maka itulah yang dimaksud para Arifin dengan“tidak mengandalkan amal,” melainkan mengandalkan (berharap pada pertolongan) Allah. Itulah adab.


Salam santun untuk sahabat, semoga Allah selalu membimbing kita semua lahir dan batin pada kebenaran dan kelurusan.

Posting Komentar untuk "Pentingnya Adab di atas Ilmu"